Langsung ke konten utama

ANALISIS DISTRIBUSI DOSIS RADIASI ELEKTRON PADA TREATMENT PLANNING SYSTEM (TPS) MENGGUNAKAN TEKNIK 3-DIMENSIONAL CONFORMAL RADIATION THERAPY (3DCRT) UNTUK PENGOBATAN TUMOR KELOID

 



Keloid merupakan bekas luka yang mengalami pertumbuhan seiring waktu dan dapat meluas melampaui lokasi awal luka atau trauma setelah penyembuhan luka terganggu. Keloid dapat mengalami kekambuhan (recurrent) dan dapat menimbulkan rasa sakit, gatal serta rasa tidak nyaman (Ojeh dkk., 2020). Epidemiologi keloid bervariasi pada 4,5% - 16% pada etnis Afrika, Asia dan Hispanik. Pada negara maju, sekitar 11 juta pasien keloid tercatat pada tahun 2000, sementara di negara berkembang terdapat 100 juta kasus per tahun di mana 55 juta kasus terjadi akibat dari pembedahan dan 25 juta kasus akibat adanya trauma atau kecelakaan. Kasus keloid di Indonesia tepatnya pada RSUD dr. Soetomo Surabaya dilaporkan sebanyak 249 kasus pada periode tahun 2017 – 2018 (Huang dan Ogawa, 2021; Elazhary dkk., 2022; Jannah dkk., 2022).

Keloid sering terjadi pada orang-orang yang memiliki pigmen kulit gelap oleh karenanya keloid banyak ditemukan pada populasi manusia di Benua Asia, Benua Afrika dan Keturunan Hispanik yang diperkirakan berada pada kisaran 5% - 16%. Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk mengalami keloid meskipun insiden keloid sedikit meningkat pada perempuan yang dipengaruhi oleh penggunaan kosmetik dan tindik telinga (Ojeh dkk., 2020).

Keloid dapat terjadi pada semua rentang usia, namun biasanya lebih sering terjadi pada rentang usia 11-30 tahun. Tegangan kulit yang baik ketika usia muda dan kemungkinan tertinggi mengalami trauma juga menjadi pengaruh tingginya pasien keloid pada rentang usia tersebut. Faktor usia berkaitan dengan stimulasi oleh hormon seksual terutama pada usia pubertas dan saat kehamilan. Beberapa faktor risiko keloid lainnya yaitu orang dengan golongan darah A yang sering mengalami keloid spontan, lokasi anatomi luka atau trauma dan hiper IgE. Selain itu, orang dengan hipertensi dapat mengalami keloid karena hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan pembuluh darah dan memungkinkan meningkatkan terjadinya peradangan di jaringan sekitar keloid (Ojeh dkk., 2020).

Pengobatan untuk tumor keloid masih menjadi tantangan bagi tenaga medis karena keloid memiliki sifat yang berulang sehingga cukup sulit diobati. Metode pengobatan keloid salah satunya adalah pembedahan (eksisi) dengan mengurangi ukuran keloid secara instan. Pembedahan memiliki tingkat recurrent cukup tinggi sehingga dilakukan kombinasi dengan terapi lain yaitu injeksi (penyuntikan) kortikosteroid dan radioterapi terhadap keloid berulang atau sebelumnya mengalami kegagalan dalam pengobatan dengan terapi lain (Glorie dkk., 2023).

Radioterapi adalah jenis terapi menggunakan radiasi pengion yang memiliki kemampuan untuk mengionisasi dan memiliki energi cukup tinggi untuk jaringan yang akan dilewatinya. Energi tersebut dapat menghancurkan sel tumor atau menyebabkan perubahan genetik pada sel tumor (Baskar dkk., 2012). Radioterapi merupakan salah satu pilihan pengobatan yang efektif dan dapat mempertahankan jaringan pada pasien tumor dan kanker kulit, terutama dalam kasus di mana pembedahan tidak memungkinkan untuk dilakukan atau tidak ideal. Selain itu, dengan pengaturan definitif, adjuvan dan paliatif pada radioterapi dapat mengurangi risiko kekambuhan lokal setelah pembedahan yang tidak lengkap (Veness dkk., 2019).

Alat radioterapi yang umum digunakan yaitu Linear Accelerator (LINAC). LINAC merupakan seperangkat instrumen yang berfungsi untuk mempercepat partikel bermuatan dengan memberikan medan listrik dan medan magnet. Pada LINAC terdapat 2 berkas yang digunakan untuk pengobatan yaitu foton dan elektron. Foton umumnya digunakan untuk terapi pada target tumor yang berada pada kedalaman tertentu, sedangkan elektron untuk terapi pada daerah permukaan atau yang dekat dengan permukaan, contohnya pada permukaan kulit (Astuti dan Kholimatussa’diah, 2018).

Salah satu teknik penyinaran pada LINAC adalah Three Dimensional Conformal Radiotheraphy (3DCRT) menggunakan energi elektron yang ditembakkan kepada pasien. Teknik 3DCRT meliputi proses perencanaan dan pemberian dosis yang mengacu pada gambar 3 dimensi dan bentuk lapangan yang disesuaikan dengan bentuk target. Teknik 3DCRT mengatur berkas sinar radiasi dan intensitasnya homogen sehingga dosis yang diberikan pada target maksimum dan dosis pada organ sehat minimum sehingga tidak terjadi efek samping pada organ sehat (Susworo dan Kodrat, 2017). Selain itu, dalam perencanaan radioterapi juga diperlukan Treatment Planning System (TPS) agar distribusi dosis optimal dan homogen pada volume target dan dosis minimum pada organ sehat di sekitarnya (BAPETEN, 2013).

Penelitian melibatkan 5 pasien tumor keloid. Karakteristik pasien tumor keloid pada penelitian ini adalah pasien yang memiliki tumor keloid pada bagian dada dengan riwayat luka atau trauma. Selain itu, pasien telah mengalami proses pembedahan (eksisi) tumor keloid dan mendapatkan perawatan dengan radioterapi pada kurun waktu golden time (3 x 24 jam setelah pembedahan). Selanjutnya dilakukan pengumpulan data rekam medis dari pasien tumor keloid berupa citra yang diambil menggunakan CT-Simulator.

Hasil citra dari pasien tumor keloid di kontur oleh dokter onkologi. Pengkonturan atau delineasi merupakan pembuatan garis batas untuk menandai daerah volume tumor dan jaringan sehat di sekitarnya. Hasil pengkonturan didapatkan volume Planning Target Volume (PTV) untuk selanjutnya dilakukan perencanaan radioterapi dengan teknik 3DCRT.

Perencanaan teknik 3DCRT dibuat oleh peneliti dibantu oleh fisikawan medis. Tahapan perencanaan teknik 3DCRT meliputi pengaturan berkas radiasi, dosis dan jumlah lapangan. Pada penelitian ini dilakukan variasi energi elektron pada energi 4 MeV, 6 MeV dan 9 MeV. Pemilihan energi ini dilakukan dengan pertimbangan jarak tumor yang berada di permukaan kulit dan cenderung dangkal. Selain itu, digunakan energi yang < 12 MeV dengan mempertimbangkan bahwa energi yang besar untuk permukaan yang dangkal akan memperkecil efek skin sparing yang menyebabkan kulit terbakar. Efek skin sparing terjadi pada radiasi berenergi tinggi yang berkaitan dengan penumpukan elektron pada kedalaman di bawah permukaan kulit. Laju dosis yang digunakan adalah 400 MU/menit dan menggunakan 1 lapangan penyinaran yang dibuat sedatar mungkin. Pada perencanaan 3DCRT akan diatur banyaknya penyinaran atau jumlah fraksi dosis. Untuk pasien tumor keloid diberikan dosis total 15 Gy dalam 3 hari dengan fraksi harian 5 Gy.  Dari perencanaan yang telah dilakukan didapatkan dosis pada setiap volume target yang disajikan dalam bentuk kurva Dose Volume Histogram (DVH).

Setelah mendapatkan data dosis pada setiap volume target mencakup mencakup volume tumor pada 80% dosis radiasi yang diberikan (V80%), data dosis radiasi pada 2%, 50% dan 98% dari kurva DVH, langkah selanjutnya adalah menghitung nilai Conformity Index (CI) yang menggambarkan kesesuaian dosis yang diberikan melingkupi target kanker. Nilai CI didapatkan dengan membagi volume kanker pada 80% dosis radiasi yang diberikan (V80%) dengan volume PTV. Selanjutnya nilai Homogeneity Index (HI) menggambarkan keseragaman distribusi dosis dalam volume target di mana dipengaruhi oleh nilai dosis maksimum, dosis minimum dan dosis rata-rata target.

Analisis distribusi energi elektron dilakukan terhadap nilai HI dan CI yang terdapat pada kurva DVH. Analisis ditampilkan berupa grafik hubungan antara energi elektron dengan nilai CI untuk melihat apakah dosis yang diberikan melingkupi seluruh PTV. Nilai CI yang didapatkan dibandingkan dengan ketetapan ICRU Report 62, di mana nilai CI yang ideal adalah bernilai 1. Selain itu, analisis juga dilakukan untuk melihat keseragaman dosis yang diberikan berdasarkan grafik hubungan antara energi elektron dan nilai HI untuk selanjutnya dibandingkan dengan ketetapan ICRU Report 83 di mana nilai HI yang ideal adalah 0.

DAFTAR PUSTAKA:
Astuti, S. D. dan Kholimatussa’diah, S., 2018, Dasar Fisika Radiasi dan Dosimetri, Airlangga University Press, Surabaya.
BAPETEN, 2019, Buku Panduan Permohonan Perizinan Radioterapi, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jakarta.
Baskar, R., Lee, K. A., Yeo, R. dan Yeouh, K. W., 2012, Cancer and Radiation Therapy: Current Advances and Future Directions, Int Journal Medicine Science, Vol. 9, No. 3, hal. 193-199.
Elazhary, E., Abd Al-Salam, F., Abd El-Hafiz, H., dan Maghraby, H., 2022, Updates on Keloid Scar Pathogenesis, Assessment and Treatment Modalities, Journal Recent Advances in Medicine, Vol. 3, No. 1, hal. 75-86.
Gauglitz, G. G., 2020, Textbook on Scar Management, Springer Publishing, USA.
Glorie, D. A., Kertadjaya, W. dan Angeline, R., 2023, Penyebab dan Tatalaksana dalam Mengatasi Keloid, Jurnal MedSciantiae, Vol. 2, No. 2, hal. 1-7.
Huang, C., dan Ogawa, R., 2021, Keloidal Pathophysiology: Current Notions. Scars, Burn dan Healing, Vol. 7, Sage Journals, hal. 1 – 7.
Jannah, A. R., Listyawan, M., Y. dan Perdanakusuma, D. S., 2021, Epidemiologi Keloid di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2017 – 2018, Jurnal Kesehatan Soetomo, Vol. 8, No. 2, hal. 79-84.
Nangole, F. W. dan Agak, G. W., 2019, Keloid Pathophysiology: Fibroblast or Inflammatory Disorders?: Pathophysiology of Keloids, JPRAS Open, Vol. 22, hal. 44-54.
Nawangsih, C. H., Setyarto, M. R., dan Firli, D., 2020, Radiotherapy for Recurrent Keloid: A Case Report, Journal of Biomedicine and Translational Research, Vol 6, No. 3, hal. 89-91.
Ojeh, N., Bharatha, A., Gaur, U. dan Forde, L., 2020, Keloids: Current and Emerging Therapies, Scars, Burn dan Healing, Vol. 6, Sage Journals, hal. 1 – 18.
Ojeh, N., Bharatha, A., Gaur, U. dan Forde, L., 2020, Keloids: Current and Emerging Therapies, Scars, Burn dan Healing, Vol. 6, Sage Journals, hal. 1 – 18.
Susworo, R., dan Kodrat H., 2017, Dasar Dasar Radioterapi Tata Laksana Radioterapi Penyakit Kanker, Edisi II, UI Press, Jakarta.
Veness, M. J., Delishaj, D., Barnes, E. A., Bezugly, A. dan Rembielak, A., 2019, Current Role of Radiotherapy in Non-melanoma Skin Cancer, Clinical Oncology, Vol. 31, Issue 11, Elsevier, hal. 749-758.

PENULIS : PUTRI DWI YUSHA
DOSEN PEMBIMBING : RICO ADRIAL, M.SI
PEMBIMBING LAPANGAN : FIQI DIYONA, S.SI
 
 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

POTENSIAL AKSI DAN POTENSIAL ISTIRAHAT PADA NEURON

  Neuron adalah sel yang membentuk sistem saraf terdiri dari tiga bagian utama. Dendrit, yang merupakan cabang kecil dari neuron yang menerima sinyal dari neuron lain, soma, atau badan sel, yang memiliki semua organel utama neuron seperti nukleus, dan akson yang terbungkus mielin berlemak. POTENSIAL AKSI ( ACTION POTENTIAL ) Dendrit menerima sinyal dari neuron lain melalui neurotransmiter, yang ketika mereka mengikat reseptor pada dendrit bertindak sebagai sinyal kimia. Pengikatan itu membuka saluran ion yang memungkinkan ion bermuatan mengalir masuk dan keluar sel, mengubah sinyal kimia menjadi sinyal listrik . satu neuron dapat memiliki satu ton dendrit yang menerima input, efek gabungan dari beberapa dendrit cukup mengubah muatan keseluruhan sel, memicu - POTENSIAL AKSI - yang merupakan sinyal listrik yang menuruni akson hingga 100 meter/detik, memicu pelepasan neurotransmitter di ujung yang lain dan selanjutnya menyampaikan sinyal. neuron menggunakan neurotransmiter seba...

PENDAHULUAN BIOELEKTRIK

  Manusia juga memiliki elektron yang menyediakan komunikasi antar sel melalui sinyal elektromagnetik. Kelistrikan mikroskopis yang terjadi pada semua makhluk hidup, termasuk kelistrikan pada manusia, disebut bioelektrik. alam semesta terdiri dari atom, gravitasi, listrik dan getaran. makhluk hidup memiliki bioelektrik, yang disebabkan oleh medan elektromagnetik, karena diterapkan pada prinsip penciptaan alam semesta. Bioelektrik adalah energi listrik mikroskopis yang dihasilkan oleh banyak proses biologis. setiap bagian tubuh manusia memiliki bioelektrik. pada abad ke-18, Luigi Galvani dari Italia melakukan peercobaan pada otot kaki belakang katak. dalam percobaan eksitasi otot, yang dikontrak oleh listrik, dia menemukan bioelektrik. Eksperimen ini sangat penting dalam ilmu fisika dan fisiologi. Setiap sel membutuhkan bioelektrik untuk berfungsi. Secara umum, sel menghasilkan listrik melalui pertukaran kimia di tingkat molekuler. Bioelektrik menekuni potensial listrik serta ar...

DASAR-DASAR SEL, PERGERAKAN SEL DAN POTENSIAL MEMBRAN

TEORI SEL Setiap orang sebenarnya terbuat dari milyaran sel. Teori sel modern dikemukakan oleh  M.J. Schleiden dan Theodore Schwann  pada 1838 yang mencakup hal-hal berikut: 1. Sel adalah unit hidup terkecil dalam semua organisme. 2 bahwa semua makhluk hidup terbuat dari sel. Satu atau lebih sel. 3 semua sel berasal dari sel lain yang sudah ada sebelumnya. Sel memiliki dunia kecil mereka sendiri di dalamnya dimana sel membawa informasi genetik. Mereka bisa membagi dan memiliki fungsi dan proses yang dapat diurus oleh organel di dalam sel. kita dapat membagi sel menjadi dua kelompok besar. Sebagai sel, manusia adalah eukariota. Bakteri dan Arachae adalah prokariota. Tumbuhan, hewan, jamur, protista adalah eukariota. Baik prokariota dan eukariota memiliki materi genetik. Keduanya memiliki sitoplasma. Keduanya memiliki ribosom, yang merupakan organel kecil yang membuat protein. Keduanya memiliki membran sel yang mengontrol apa yang masuk dan keluar dari sel. Sel Prokariota ...